Sebuah istilah tren kerja terbaru, quiet quitting membanjiri beranda media sosial. Seorang pengguna Tiktok memulai percakapan ini pada tanggal 25 Juli lalu. Di videonya ia mengatakan, “Saya baru-baru ini mengetahui tentang istilah yang disebut ‘Quiet Quitting”, di mana Anda tidak langsung berhenti dari pekerjaan Anda, tetapi berhenti dari gagasan untuk melampaui dan melewati,”
Selepas video tersebut viral, banyak pengguna TikTok berbagi pengalaman mereka sendiri sebagai tanggapan, dengan #QuietQuitting. Tak dimungkiri, munculnya istilah quiet quitting memacu diskusi pekerja untuk menetapkan batasan di tempat kerja. Lantas, bagaimana menghadapi karyawan yang ‘mengadopsi’ quiet quitting?
Definisi Quiet Quitting
Urban Dictionary mendefinisikan quiet quitting sebagai sebuah kata yang dilontarkan kaum milenial yang setara dengan melakukan pekerjaan Anda tanpa mengambil lembur. Pemaknaan yang lain menyebutkan, bekerja tidak lebih, dan tidak kurang, dari 40 jam seminggu dalam pekerjaan penuh waktu.
Sementara itu, dalam artikelnya World Economic Forum menyebutkan, quiet quitting adalah seni untuk tidak menganggap pekerjaan terlalu serius yang mayoritas digunakan pekerja Gen Z. Berdasarkan Laporan Deloitte 2021, hampir setengah dari Gen Z dan milenium mengatakan mereka merasa stres sepanjang atau sebagian besar waktu, yang lebih tinggi dari rata-rata global.
Milenial dan Generasi Z menjadikan kesehatan mental di tempat kerja sebagai prioritas. Secara singkat, istilah quiet quitting digunakan untuk merujuk pada pekerja yang hanya melakukan job desk sesuai kontrak tertulis dan upahnya. Para generasi Z dengan gagasan quiet quitting-nya menginginkan work life balance dan menghindari over work.
Tanda-tanda Quiet Quitting
Karyawan yang berhenti diam-diam tahu bahwa mereka memiliki pilihan untuk berhenti atau tetap bekerja, tetapi mereka memilih untuk tetap tinggal dan menahan diri. Mereka hanya berhenti dari gagasan melakukan pekerjaan ekstra berjam-jam, tidak lagi mengorbankan kehidupan pribadi mereka untuk dimasukkan ke dalam jam kerja mereka.
Apa saja tanda-tanda bahwa seseorang terlibat dalam fenomena ini? Empat tanda utamanya adalah penurunan partisipasi kerja, berkurangnya inisiatif, mengisolasi dari anggota tim lainnya, dan mengubah persepsi tentang pekerjaan.
Langkah Menghadapi Karyawan Quiet Quitting
Quiet quitting adalah gejala manajemen yang buruk. Ada tiga langkah utama yang dapat Anda lakukan sebagai manajer:
- Menimbang Aasan Karyawan Quiet Quitting
Seorang karyawan yang melepaskan diri, kemungkinan mereka melakukan quiet quitting. Cobalah pertimbangkan mengapa mereka melakukannya? Kemungkinan mereka mencapai titik di mana mereka merasa diremehkan atau tidak dapat mengelola beban kerja mereka. Ini adalah salah satu alasan mereka berhenti diam-diam.
- Melakukan Pendekatan Lebih Dalam dengan Karyawan
Sebagai manajer yang baik, Anda menemukan cara untuk terlibat kembali dengan mereka. Pikirkan apakah ada faktor-faktor yang dapat diperbaiki. Lakukan evaluasi pengalaman karyawan secara berkala sebagai retensi jangka panjang. Ini membantu Anda menentukan apakah ada faktor budaya perusahaan yang dapat diubah lebih luas.
- Bertindak dengan Tenang
Kemunculan tren quiet quitting diikuti tren quiet firing. Singkatnya quiet firing adalah pemecatan diam-diam. Pemecatan ini ditandai dengan tidak memberikan feedback, berhenti mengikutsertakan mereka dalam informasi penting, dan manajer yang kerap membatalkan pertemuan tatap muka dengan mereka. Anda dapat melakukan quiet firing sebagai langkah terakhir menghadapi quiet quitting.
Mempertahankan karyawan dengan kinerja kompeten dinilai lebih hemat daripada membuka pintu mobilitas karyawan. Jika Anda berpikir bahwa staf Anda menunjukkan tanda-tanda quiet quitting, inilah saatnya memikirkan bagaimana perusahaan melibatkan karyawan mereka.